other
Kecakapan Dasar Spesifik Peserta Didik (Siswa)

1. Pengertian Kecakapan Dasar
Spesifik Peserta Didik (Siswa)
Penelitian
terbaru mengungkapkan bahwa kemampuan awal peserta didik terhadap sebuah subyek
tertentu akan mempengaruhi bagaimana dan apa yang akan mereka pelajari (Dick,
Carey, & Carey, 2009). Oleh karena itu, salah satu komponen penting yang
diperlukan dalam mendesain suatu mata pelajaran adalah mengidentifikasi
kecakapan-kecakapan dasar spesifik peserta didik anda. Anda dapat melakukan
identifikasi kecakapan dasar spesifik ini baik secara informal (seperti
misalnya mengajukan pertanyaan ke kelas) maupun dengan cara-cara yang lebih
formal (misalnya, melakukan kajian/tinjauan terhadap hasil ujian
terstandardisasi atau memberikan ujian dan penilaian yang dibuat oleh guru).
Ujian masuk merupakan penilaian yang menentukan apakah peserta didik memiliki
prasyarat atau kompetensi-kompetensi yang diperlukan sehingga proses
pembelajaran berlangsung dengan optimal. Sebagai contoh, jika anda akan
mengajar peserta didik tentang proses pemilihan Presiden Amerika Serikat, maka
peserta didik harus sudah memahami makna “presiden” terlebih dahulu sebagai
salah satu konten prsyarat atau kemampuan awal peserta didik. Dengan demikian,
konten terkait presiden ini tidak perlu lagi disertakan ke dalam mata
pelajaran. Contoh lainnya adalah, jika anda akan mengajar peserta didik untuk
menghitung luas bidang geometri, maka anda perlu memberikan pengetahuan
prasyarat atau kemampuan awal terkait dengan kemampuan perkalian peserta didik
untuk mengidentifikasi peserta didik mana yang membutuhkan perbaikan sebelum
memasuki pelajaran geometri. Contoh kecakapan dasar spesifik lainnya adalah, pada
mata pelajaran Pengoperasian dan Perakitan Sistem Kendali (PPSK), proyek tugas
akhir merupakan pembelajaran yang digunakan dalam materi pengendali elektronik.
Sebelum membuat suatu barang tentu, peserta didik harus mengetahui dasar-dasarnya
terlebih dahulu. Materi pengendali elektronik merupakan suatu rangkaian
pengendali yang menggunakan prinsip dasar elektronika. Dengan demikian, peserta
didik perlu mengetahui dasar-dasar mengenai elektronika yang berhubungan dengan
sistem kendali. Oleh karenanya, kecakapan dasar spesifik atau pra-syarat yang
harus dimiliki peserta didik dalam pengendali elektronik pada mata pelajaran
PPSK diantaranya adalah menyebutkan prinsip pengoperasian, merencanakan
rangkaian, membuat rangkaian dan mengoperasikan sistem pengendali elektronik.
Untuk
membantu mengklarifikasi kompetensi dasar spesifik atau prasyarat atau kemampuan
awal, sangat penting bagi seorang guru untuk membuat daftar kecakapan dasar
spesifik atau kemampuan awal apa sajakah yang diperlukan di dalam rencana mata
pelajaran. Dalam melakukan pendataan atau pencermatan terhadap jenis-jenis
kecakapan dasar spesifik yang akan dimasukkan ke dalam rencana mata pelajaran,
pendidik dapat melakukannya dengan cara menyatakan jenis-jenis kecakapan dasar
spesifik tersebut ke dalam format “jenis
tujuan”. Dalam materi pemilihan presiden misalnya, pra-syaratnya bisa
ditentukan sebagai berikut: “para peserta didik bisa mendefinisikan presiden”.
Sedangkan untuk materi Geometri, pra-syarat yang bisa dituliskan adalah: ‘para
peserta didik bisa/mampu mengalikan”. Setelah pra-syarat sudah berhasil
diidentifikasi dan ditentukan, maka guru bisa menggunakan ujian masuk (entry
test) untuk mengidentifikasi peserta didik mana yang membutuhkan perbaikan
sebelum masuk ke mata pelajaran yang akan diajarkan. Ujian masuk tersebut,
mungkin dibutuhkan untuk menilai konten yang akan diajarkan untuk mengetahui
apakah peserta didik belum menguasai apa yang guru rencanakan untuk ajarkan.
Dalam
hal diagnosis kemampuan awal ini, Judy Harris (2000: 1) mengemukakan bahwa
diagnosis kemampuan awal (recognition of prior learning) merupakan salah satu
variabel penting dalam penentuan proses pembelajaran. Lebih lanjut dikatakan
bahwa “the recognition of prior learning (RPL) refers to practice developed
within education and training to identify and recognise adults pevious
learning. The broad principle is that previous learning –acquired informally,
non-formally, experientally or formally- can and should be recognised and given
currency within formal education and training framework”. Dalam hal ini,
diagnosis kemampuan awal perlu dilakukan untuk mengetahui pengetahuan atau
pembelajaran yang telah diperoleh oleh peserta didik baik secara formal mauppun
tidak formal. Pengetahuan akan kemampuan awal tersebut perlu diidentifikasi
agar proses pembelajaran dapat selaras antara guru dengan peserta didik.
Kemampuan
awal juga digunakan tidak hanya untuk kepentingan keselarasan dalam proses
pembelajaran, melainkan juga untuk meningkatkan kebermaknaan pengajaran,
sehingga berdampak pada kemudahan dalam yang selanjutnya membawa dampak dalam
memudahkan proses-proses internal yang berlangsung dalam diri siswa ketika
belajar (Hamzah Uno, 2011). Martinis Yamin (2007: 32) mengungkapkan salah satu manfaat yang dapat
diperoleh dari hasil kajian siswa yang akan kita hadapi di dalam kelas adalah
kita memperoleh gambaran yang lengkap dan terperinci tentang kompetensi/
kemampuan awal para siswa yang berfungsi sebagai prerequisite bagi bahan materi
baru yang akan disampaikan. Bedasarkan penjelasan tersebut terlihat bahwa
kemampuan awal memiliki peranan penting dalam pembelajaran. Telah dijelaskan di
atas bahwa sebelum pembelajaran dilakukan, guru harus mengetahui karakteristik
awal dari siswanya, salah satunya yaitu kemampuan awal siswa. Menurut Smaldino (1996)
seperti yang dikutip Dewi Salma (2008: 20) bahwa setiap peserta didik berbeda
satu sama lain karena karakteristik umum, kemampuan awal prasyarat dan gaya
belajar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kemampuan awal atau prasyarat merupakan
kemampuan dasar yang harus dimiliki sebelum peserta didik akan mempelajari
kemampuan baru. Oleh sebab itu, sebagai guru harusnya mengetahui karakteristik
awal siswa sebelum merencanakan pembelajaran karena jika kurang, kemampuan awal
ini menjadi mata rantai penguasaan materi dan menjadi penghambat dalam proses
belajar.
Guru
dan peserta didik sudah seharusnya menjadikan karakteristik peserta didik yang
terkait dengan kecakapan dasar spesifik atau pengetahuan awal sebagai pijakan
dalam mendesain, mengembangkan dan melaksanakan program-program pembelajaran.
Kecakapan dasar spesifik adalah pemahaman, pengalaman, pengetahuan prasyarat,
dan segala sesuatu yang dimiliki oleh peserta didik sebagai pegetahuan awal (prior
knowledge) dan disusun secara hirarkis sebagai basis data pengalaman (experiential
data base) di dalam diri peserta didik. Dalam hal ini, jika guru mengajarkan
materi yang tingkat kesulitannya di atas kemampuan peserta didik, maka akan
berimplikasi pada ketidak-efektifan proses dan hasil pembelajaran. Peserta
didik akan mengalami kesulitan memahami materi tersebut disebabkan oleh adanya
materi prasyarat (pre-requisite), pengetahuan atau kemampuan awal atau
kecakapan dasar spesifik lainnya yang seharusnya menjadi pijakan bagi perolehan
pengetahuan baru belum dikuasai oleh peserta didik.
Dalam
teori belajar kognitif, dijelaskan bahwasanya proses belajar sesungguhnya terjadi
antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya
dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran
seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Materi
yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yag telah
dimiliki peserta didik dalam bentuk struktur kognitif. Struktur kognitif
merupakan struktur organisasional yang ada di dalam ingatan seseorang yang
mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu
unit konseptual. Teori belajar kognitif cenderung berfokus pada konsepsi bahwa
perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif
yang telah dimiliki oleh peserta didik. Menurut Ausubel (1978), pengetahuan diorganisasi
dalam ingatan seseorang dalam bentuk struktru hierarkis. Ini berarti bahwa
pengetahuan yang lebih umum, inklusif, dan abstrak embawahi pengetahuan yang
lebih spesifik dan konkret. Implikasinya adalah bahwa penngetahuan yang lebih
umum dan abstrak yang telah dimiliki oleh peserta didik akan lebih mempermudah
peserta didik dalam memperoleh pengetahuan baru yang lebih rinci. Asri
Budiningsih (2013) menegaskan bahwa cara mengorganisasikan materi pelajaran
dari umum ke khusus, dari keseluruhan ke rinci atau yang disebut dengan subsumptive
sequence inilah yang menjadikan belajar menjadi lebih bermakna bagi peserta
didik.
Advance
organizers merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam
merancang pembelajaran. Penggunaan advance organizers sebagai kerangka isi
secara signifikan mampu meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mempelajari
informasi atau materi baru. Hal ini disebabkan karena kerangka isi di dalam advance
organizers tersebut berbentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar
tentang apa yang dipelajari dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam
struktur kognitif pesera didik. Oleh karenanya, jika diorganisasikan dengan
baik, maka advance organizers akan memudahkan peserta didik mempelajari materi
pelajaran yang baru serta mampu menghubungkannya dengan materi yang telah
dipelajarinya.
Berdasarkan
pada konsepsi organisasi kognitif yang telah diuraikan tersebut di atas, para
pakar teori kognitif kemudian mengembangkan sebuah model yang lebih eksplisit
yang disebut dengan skemata. Sebagai struktur organisasional, skemata berfungsi
untuk mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah sebagai
tempat untuk mengkaitkan pengetahuan baru. Degeng (2013) berpendapat bahwa
skemata memiliki fungsi ganda, yakni: a) sebagai skema yang menggambarkan atau
merepresentasikan organisasi pengetahuan; dan b) sebagai tempat untuk
mengkaitkan pengetahuan baru.
Dalam
hal ini skemata juga memiliki fungsi asimilatif. Artinya, bahwa skemata
berfungsi untuk mangasimilasikan pengetahuan baru ke dalam hierarkhi
pengetahuan yang secara progresif lebih rinci dan spesifik dalam struktur
kognitif seseorang. Inilah yang kemudian disebut dengan proses proses belajar
yang paling dasar, yakni mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam skemata
yang tersusun secara hierarkhis sebagai experiential data base atau basis data
pengalaman. Struktur kognitif sebagai experiential data base yang telah
dimiliki seorang peserta didik menjadi faktor utama yang mempengaruhi kebermankaan
dari perolehan pengetahuan baru. Dengan kata lain, skemata yang telah dimiliki
oleh peserta didik akan menjadi penentu utama terhadap pengetahuan apa yang
akan dipelajari oleh peserta didik tersebut. Implikasinya adalah sangat
diperlukannya adanya upaya untuk mengorganisasikan isi atau materi pelajaran
dan juga penataan kondisi pembelajaran itu sendiri agar dapat memudahkan proses
asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif seorang peserta didik
(Degeng, 2013).
Berdasarkan
pada pemahaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa upaya pembelajaran apapun yang
dipilih dan dilakukan oleh guru jika tidak bertumpu pada struktur kognitif
sebagai kecakapan dasar spesifik atau pengetahuan awal peserta didik selaku
subyek belajar yang aktif, maka pembelajaran tidak akan bermakna. Karakteristik
peserta didik yang terkait dengan kecakapan dasar spesifik atau pengetahuan
awal dapat diidentifikasi sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap
proses dan hasil belajar. Oleh karena kedudukannya yang sangat signifikan
tersebut, maka dibutuhkan kemampuan seorang guru untuk menganalisa
karakteristik kecakapan dasar spesifik atau pengetahuan/kemampuan awal yang
telah dimiliki peserta didik sebagai landasan dalam memilih metode dan strategi
pembelajaran yang sesuai. Kecakapan dasar spesifik atau pengetahuan awal sangat
berpengaruh pula terhadap proses-proses internal yang berlangsung di dalam diri
peserta didik ketika belajar dan juga secara tidak langsung akan berpengaruh
terhadap pelaksanaan dan hasil belajar peserta didik secara komprehensif.
2. Jenis-Jenis Kecakapan
Dasar Spesifik Peserta Didik (Siswa)
Sebuah
teori pembelajaran pada hakekatnya dikatakan komprehensif jika teori tersebut
mampu mengembangkan cara-cara bagaimana mengoptimalkan proses-proses internal
ketika seseorang belajar, yakni bagaimana seorang peserta didik melalui proses
perolehan pengetahuan baru, mengorganisasikan dan mengungkapkan kembali
pengetahuan baru tersebut. Menurut Reigeluth (1983) dan Degeng (2013), terdapat
tujuh jenis kecakapan dasar spesifik atau pengetahuan/kemampuan awal yang dapat
dipergunakan untuk memudahkan perolehan, pengorganisasian, dan pengungkapan
kembali pengetahuan baru. Ketujuh jenis kecakapan dasar spesifik tersebut
adalah:
a) Pengetahuan
bermakna tidak terorganisasi (arbitrarily meaningful knowledge)
Pengetahuan bermakna
tidak terorganisasi merupakan pengetahuan yang sama sekali tidak berkaitan
dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Pengetahuan ini sangat
bermanfaat sebagai tempat mengkaitkan pengetahuan hafalan (yang tidak bermakna)
untuk memudahkan retensi. Berbagai pengetahuan bermakna tidak terorganisasi ini
dapat diciptakan oleh guru bersama-sama dengan peserta didik untuk mengingat
pengetahuan-pengetahuan hafalan. Penggunaan mnemonic atau jembatan keledai atau
dapat pula menggunakan singkatan-singkatan tertentu misalnya, akan sangat
membantu peserta didik dalam mengingat atau menghafalkan materi. Beberapa
contoh jembatan keledai misalnya “MEJINGKUHIBININGU’ untuk mempermudah peserta
didik mengingat urutan warna pelangi. Singkatan “ADEK” untuk mengingat jenis
vitamin yang mudah larut dalam lemak. Singkatan “POBATEL” untuk mengingat
jenis-jenis sumber belajar dalam kajian Teknologi Pendidikan (Pesan, Orang,
Bahan, Alat, Teknik, dan Lingkungan) dan sebagainya. Pengetahuan-pengetahuan
demikian tersebut akan sangat membantu peserta didik sebagai alat untuk
mempermudah dalam mengingat materi pelajaran.
b) Pengetahuan
analogis (analogic knowledge)
Pengetahuan analogis sangat
serupa dengan pengetahuan yang sedang dipelajari, namun berada di luar isi atau
konten materi yang sedang dibicarakan atau diajarkan. Dalam hal ini, antara
pengetahuan baru yang sedang dipelajari dengan pengetahuan analogis terdapat
beberapa kaitan, yakni: 1) berada pada tingkat keumuman yang sama; 2) memiliki
keserupaan dalam hal-hal pokok; 3) contoh-contoh pengetahuan analogis yang
saling tidak ada kaitannya dengan dan termasuk dalam contoh-contoh pengetahuan
baru yang sedang dipelajari. Mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan
analogis yang telah dimiliki oleh peserta didik akan dapat mempermudah peserta
didik dalam memperoleh pengetahuan baru tersebut. Namun demikian, penting untuk
diketahui oleh guru bahwasanya peserta didik harus memiliki pemahaman terlebih
dahulu terhadap arti pengetahuan analogis ketika akan dipergunakan dalam
kegiatan belajarnya. Sebagai contoh, peserta didik di sekolah dasar yang sedang
mempelajari tentang konsep “Persatuan”, guru dapat menggunakan pengetahuan
analogis berupa “sapu lidi”. Agar penggunaan pengetahuan analogis tersebut
dapat efektif, sebaiknya dicari yang semirip mungkin kesamaannya dengan
pengetahuan yang sedang dipelajari. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka
penggunaan pengetahuan analogis yang salah tersebut justru akan dapat
membingungkan peserta didik.
c) Pengetahuan
tingkat yang lebih tinggi (superordinate knowledge)
Pengetahuan tingkat
yang lebih tinggi atau superordinate dapat berfungsi sebagai pengkait bagi
pengetahuan baru. Pengetahuan ini dapat dikaitkan dengan hubungan pra-syarat
belajar atau urutan belajar. Pengetahuan superordinate ini membawahi
pengetahuan-pengetahuan yang sedang dipelajari, bersifat inklusif, dan lebih
umum dibandingkan dengan pengetahuan yang sedang dipelajari. Dengan kata lain,
pengetahuan yang sedang dipelajari, memiliki sifat yang lebih rinci, khusus,
spesifik, dan kompleks; sedangkan pengetahuan tingkat yang lebih tinggi atau superordinate
bersifat lebih sederhana, umum, dan inklusif. Contoh dari pengetahuan tingkat
yang lebih tinggi ini adalah ketika pendidik menjelaskan “Konsep Tumbuhan”
sebagai pengetahuan superordinate bagi “tumbuhan monokotil” dan “tumbuhan
dikotil”.
d) Pengetahuan
setingkat (coordinate knowledge)
Pengetahuan setingkat
memiliki tingkat keumuman dan kekhusuan yang sama dengan pengetahuan baru yang
sedang dipelajari. Pengetahuan ini erat hubungannya dengan pengetahuan yang
sedang dipelajari dan memiliki pengetahuan superordinate yang sama. Pengetahuan
setingkat dapat berfungsi sebagai pengetahuan asosiatif dan/atau komparatif
bagi pengetahuan yang sedang dipelajarinya. Misalnya, materi yang sedang
dipelajari adalah konsep “tumbuhan monokotil”, maka pengetahuan coordinate-nya
adalah “tumbuhan dikotil”. Dalam hal ini kedua pengetahuan coordinate tersebut tidak
saling termasuk didalamnya, namun demikian memiliki kesetaraan dan pengetahuan superordinate
yang sama, yakni “Konsep Tumbuhan”. Mengkaitkan pengetahuan baru yang dipelajari
dengan pengetahuan setingkat yang sudah dikuasai peserta didik tersebut
memiliki banyak keuntungan, diantaranya adalah peserta didik memiliki kemampuan
untuk membandingan dan mengasosiasikan pengetahuan baru yang serupa dengan
pengetahuan coordinate-nya, sehingga hal ini dapat berimplikasi pada mudahnya
peserta didik dalam mengorganisasi struktur ingatannya dan proses belajarnya
dapat berlangsung dengan lebih efisien.
e) Pengetahuan
tingkat yang lebih rendah (subordinate knowledge)
Pengetahuan awal
jenis ini merupakan kebalikan dari pengetahuan tingkat yang lebih tinggi.
Struktur kognitif yang disebut dengan skemata terbentuk dari
pengetahuan-pengetahuan yang bersifat lebih umum menuju ke
pengetahuan-pengetahuan yang khusus dan spesifik. Pengetahuan yang sifatnya
lebih umum akan diposisikan sebagai pengkait bagi pengetahuan-pengetahuan yang
lebih khusus. Sedangkan pengetahuan-pengetahuan yang lebih khusus atau
spesifik, akan menjadi bagian atau subordinate bagi pengetahuan yang lebih umum
atau pengetahuan diatasnya. Sebagai contoh, “jantung” dan “hati” merupakan
bagian atau subordinate dari “organ” manusia. Pengetahuan tingkat yang lebih
rendah berfungsi untuk mengkonkretkan pengetahuan baru atau untuk memberikan
contoh-contoh yang lebih spesifik.
f) Pengetahuan
pengalaman (experiential knowledge)
Pengetahuan
pengalaman berkaitan erat dengan pengetahuan apa saja yang tersimpan di dalam experiential
data base (basis data pengalaman) peserta didik. Sebagai hasil ingatan terhadap
objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang dialami seseorang. Jika peserta didik
telah memiliki pengetahuan-pengetahuan dalam bentuk contoh-contoh pengalaman
yang belum terstruktur, maka pengetahuan-pengetahuan tersebut perlu dimunculkan
dan dikaitkan dengan pengetahuan yang sedang dipelajari. Dalam hal ini,
pengetahuan pengalaman akan memiliki fungsi yang sama dengan pengetahuan
tingkat yang lebih rendah, yakni untuk mengkonkretkan dan menyediakan
contoh-contoh bagi pengetahuan baru. Mengkaitkan pengetahuan baru dengan experiential
data base penting dilakukan untuk meningkatkan pemerolehan, pengorganisasian,
dan pengungkapan kembali pengetahuan baru tersebut.
g) Strategi kognitif (cognitive strategy)
Strategi kognitif
berbeda dengan jenis kecakapan dasar spesifik atau kemampuan-kemampuan awal
yang lain. Strategi kognitif ini seringkali disebut juga dengan keterampilan
belajar yang merupakan keterampilan bebas konten (content-free skills) yang
digunakan oleh peserta didik untuk memudahkan perolehan pengetahuan baru, mulai
dari penyandian (coding), penyimpanan (storage), sampai pada pengungkapan
kembali (recall) pengetahuan yang telah tersimpan di dalam ingatan.
3. Startegi Mengaktivasi
Kecakapan Dasar Spesifik dalam Pembelajaran
Kecakapan
dasar spesifik atau kemampuan awal pada hakekatnya juga berpengaruh terhadap
bagaimana peserta didik mempersepsikan informasi atau pengetahuan baru.
Beberapa penelitian terbaru di bidang pembelajaran membuktikan bahwa
pembelajaran yang bermakna terjadi dan ditentukan oleh fenomena-fenomena apa
yang sudah diketahui oleh peserta didik sebelum memasuki mata pelajaran
tertentu. Kecakapan dasar spesifik itu sendiri adalah keterampilan-keterampilan
pra-syarat yang harus dimiliki oleh peserta didik agar pembelajaran berlangsung
secara optimal dengan hasil pembelajaran yang maksimal pula. Pentingnya peran
kecakapan dasar spesifik di dalam pembelajaran ini terutama difokuskan pada dua tahap proses
desain pembelajaran. Tahap yang pertama adalah terkait dengan desain
pembelajaran yang dimulai dengan terlebih dahulu menentukan kecakapan dasar
peserta didik. Tahap yang kedua yakni setelah beberapa kecakapan dasar spesifik
tersebut berhasil diidentifikasi, maka guru perlu membuat entry test atau tes
masuk untuk menentukan kesiapan peserta didik sebelum mengikuti mata pelajaran.
Kecakapan
dasar spesifik atau kemampuan awal pada dasarnya memiliki dua pengaruh
signifikan terhadap peserta didik, yakni terkait bagaimana seorang peserta
didik mengorganisasi informasi atau
pengetahuan baru. Tujuan pembelajaran pada hakekatnya adalah untuk
menggabungkan pengetahuan baru ke dalam organisasi memori atau ingatan yang
sudah ada. Seorang peserta didik menggunakan struktur yang sudah ada untuk
mengasimilasikan informasi atau pengetahuan baru. Bagaimana cara mengaktivasi
kemampuan awal ini, seorang guru dapat mengaplikasikan salah satu jenis
kecakapan dasar spesifik yang telah diuraikan sebelumnya, yakni misalnya dengan
menggunakan analogi-analogi dan contoh-contoh yang relevan. Pengaruh yang
kedua, yakni terkait bahwa kecakapan dasar spesifik berpengaruh terhadap
kemudahan peserta didik dalam membuat koneksi atau hubungan terhadap informasi
atau pengetahuan baru. Salah satu kunci dalam pembelajaran dan memori adalah
seberapa kaya koneksi atau hubungan antar informasi/pengetahuan yang dimiliki.
Semakin banyak koneksi/hubungan antar informasi atau pengetahuan, maka akan
berimplikasi kepada semakin mudahnya
peserta didik dalam mengingat. Ketika pengetahuan baru berhasil
dikaitkan dengan satu porsi memori/ingatan yang kaya dan terorganisasi dengan
baik, maka seorang peserta didik akan mampu mengungkapkan kembali semua
koneksi/hubungan yang sudah ada. Oleh karena itu, akan mudah bagi seorang
peserta didik untuk mempelajari informasi baru dengan pengetahuan awal yang
sudah dia ketahui sebelumnya dibandingkan dengan mempelajari informasi yang
sama sekali baru buat mereka.
Peserta
didik menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan apa yang sudah mereka
ketahui, menafsirkan informasi yang masuk, dan bahkan mempersepsikannya melalui
indra, melalui lensa pengetahuan, keyakinan, dan asumsi mereka yang mereka
ketahui (Vygotsky, 1978; National Research Council, 2000). Bahkan, ada
kesepakatan luas di kalangan peneliti bahwa sangat penting bagi peserta didik untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan
pengetahuan sebelumnya untuk kepentingan pembelajaran (Bransford & Johnson,
1972; Resnick, 1983). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa mengajukan
pertanyaan kepada peserta didik yang dirancang secara khusus untuk memicu retensi
atau pengungkapan kembali informasi atau pengetahuan yang lama dapat membantu
mereka menggunakan pengetahuan sebelumnya tersebut untuk melakukan integrasi dan
retensi terhadap informasi baru (Woloshyn, Paivio, & Pressley, 1994).
Beberapa
strategi yang bisa dilakukan oleh guru dalam mengaktivasi kecakapan dasar
spesifik di dalam pembelajaran diuraikan sebagai berikut. Pertama, untuk
memulai menggunakan kecakapan dasar spesifik atau kemampuan awal ini di dalam
pembelajaran, sangat penting untuk diketahui oleh guru kemampuan awal peserta
didik apa saja yang akan dibawa ke dalam setting pembelajaran. Beberapa
pertanyaan penting terkait hal ini adalah: Apakah mereka memiliki pengalaman
belajar yang serupa? Apakah mereka berasal dari latarbelakang dan lingkungan
yang sama? Bagaimana hal-hal tersebut nanti akan berpengaruh terhadap cara
mereka menginterpretasikan konten/materi? Apakah mereka mempunyai tujuan dan
aspirasi yang sama? Apakah mereka menuju ke arah/tujuan yang sama? Bagaimana
kah informasi-informasi yang berhasil dikumpulkan tersebut mampu diidentifikasi
dan diorganisasikan sebagai kecakapan dasar spesifk atau kemampuan awal yang
akan dibawa ke dalam kelas sebelum mendesain sebuah program pembelajaran? Dalam
hal ini, penggunaan pre-test terkait tentang konsep-konsep dan istilah-istilah
penting dapat mengantisipasi kesenjangan atau kesalahan konsepsi (miskonsepsi) baik
oleh guru maupun peserta didik yang dapat saja muncul dan terjadi dalam
pembelajaran.
Satu
hal penting yang perlu juga diketahui adalah bahwasanya kemampuan awal atau
kompetensi dasar spesifik tidak hanya berupa pengetahuan terkait konten atau
materi semata, meskipun jenis pengetahuan tentang konten tersebut merupakan hal
yang paling penting untuk dimonitor. Pengetahuan terkait kultur atau budaya
yang sedang menjadi trend saat itu ataupun juga kejadian-kejadian terkini dapat
dipergunakan pula sebagai salah satu cara untuk menstimulus kemampuan awal
peserta didik, terutama dalam konteks mengaktivasi jenis kemampuan awal tipe
analogi. Beberapa ahli bahkan menyebut bahwa pengetahuan terkait budaya populer
yang saat itu sedang menjadi trend disebut juga dengan literasi budaya.
Strategi
kedua dalam mengaktivasi kemampuan awal peserta didik ini adalah dengan guru
dengan sengaja menggunakan kemampuan atau pengetahuan awal yang sudah
direncanakan dalam pembelajaran tersebut dan disajikan sebagai pengetahuan atau
informasi baru. Memulai kelas pada mata pelajaran tertentu dengan mengulas
tentang apa yang telah terjadi sebelumnya akan membantu peserta didik mengaktifkan
pengetahuan sebelumnya. Menyajikan informasi baru yang dihubungkan dengan informasi
atau pengetahuan yang sebelumnya, tidak hanya membantu peserta didik untuk
dapat mempelajari informasi yang baru tersebut, melainkan juga bahkan justru
akan memperkuat informasi atau pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya. Selain
itu, memperkenalkan konsep-konsep baru dengan cara mengkontraskannya dengan beberapa
informasi atau pengetahuan yang telah dipelajari oleh peserta didik tersebut sebelumnya,
akan sangat membantu mereka dalam mempelajari pengetahuan baru. Bahkan, membuat
skenario pembelajaran dimana guru meminta peserta didik membuat perbandingan
atau pengkontrasan tersebut, akan membelajarkan mereka tentang sebuah
pendekatan atau cara yang efektif dalam mempelajari materi baru dan juga tentang
struktur dari materi baru tersebut.
Strategi
berikutnya adalah dengan membuat peserta didik memantau sendiri pengalaman belajar
mereka sebelumnya dan secara sadar menggunakannya untuk mempelajari informasi
baru. Meminta peserta didik untuk mengingat materi-materi sebelumnya yang
terkait dengan mata pelajaran tertentu ini adalah sebuah cara yang efektif untuk
mempelajari informasi atau pengetahuan baru. Dalam mempelajari IPA terkait
materi “Ciri-Ciri Khusus Makhluk Hidup” misalnya, guru dapat meminta peserta
didik untuk membuat kliping-kliping dari bacaan baik koran maupun majalah yang
pernah mereka baca sebelumnya yang berhubungan dengan materi tersebut. Dengan
demikian, cara ini dapat menjadi pengalaman menarik yang belum pernah lakukan
sebelumnya, tetapi yang paling signifikan adalah apa yang sudah mereka ketahui
berhubungan erat dengan apa yang akan mereka pelajari.
Strategi
yang terakhir dalam mengaktivasi kemampuan awal perserta didik adalah dengan
memeriksa atau memonitor pengetahuan sebelumnya yang diketahui salah (faulty
prior knowledge) secara periodik sehingga hal-hal yang tidak diinginkan dan
akan berakibat pada hasil pembelajaran yang tidak optimal bisa dihindari. Dalam
hal in sangat disarankan oleh guru untuk selalu menanyakan kepada peserta didik
apakah mereka telah memahami apa yang sudah diajarkan terkait materi tertentu,
sehingga guru mengetahui persis materi atau informasi baru yang diajarkan sudah
dipahami oleh peserta didik. Guru juga dapat membuat struktur pembelajaran dan
mencermati miskonsepsi-miskonsepsi yang kemungkinan terjadi dan jangan pernah
mengabaikannya karena akan berakibat pemerolehan pengetahuan baru nantinya
tidak optimal.